Tuesday, May 4, 2010

Hamka belajar secara Otodidak

Buya Hamka Berkembang Melalui Otodidak

Kamis, 09-04-2009 12:04:52 oleh: Marjohan M.Pd
Kanal: Opini

Otodidak berasal dari kata ”auto” dan ”didak” yang berarti “belajar sendiri". Kata otodidak berkaitan erat dengan pendidikan. Dan pendidikan adalah usaha manusia atau diri sendiri untuk berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar, dari miskin informasi menjadi kaya dengan informasi. Tentu saja maíh banyak ekspresi lain dapat kita tambahkan disini. Pendidikan adalah sarana untuk menjadi pintar dan kaya dengan informasi. Bangsa kita sudah beruntung karena banyak orang yang sudah peduli dengan pendidian. Masyarakat dan orang tua sudah mulai selektif dalam memilih pendidikan dan mereka telah ikhlas ikut berpartisipasi secara moril dan materil. Kini yang dituntut adalah pendidikan yang bermutu.

De Porter (2002) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang meliputi dan mengembangkan kecerdasan berganda, menghargai unsur modalitas visual, audiotorial dan inestetik. Hasri (2004) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dilasanakan oleh sekolah efektif dan guru yang efektif. Pendidikan yang berkualitas adalah dambaan semua orang. Pendidian yang ideal adalah pendidian yang berimbang antara unsur kognitif (otak), keterampilan (psikomotorik) dan sikap (atau afektif). Namun fenomena sekarang adalah bahwa pendidikan yang membuat anak didik untuk pintar mencari kerja.

Fenomena yang dideskripsikan oleh media cetak dan media elektronik bahwa orang sekarang sekolah setinggi mungkin hanya untuk menjadi kaya dan mengejar posisi. Begitu posisi susah untuk diperoleh maka mereka bermimpi menjadi PNS atau Pegawai Negeri Sipil. Karena kuota untuk menjadi PNS juga PNS, maka orang cendrung setelah menempuh pendidikan yang lama dan panjang hanya mampu menulis surat lamaran, gagal dan menjadi pengangguran. Fenomena pengangguran sudah menjadi beban pemerintah, karena lapangan kerja mereka harus dicarikan dan mereka masih jadi beban bagi masyarakat atau orang tua yang punya anak yang masih luntang-lantung. Sebelum deretan pengangguran makin lama makin panjang, maka lebih baik fenomena penyakit pengangguran (sebagai penyakit masyarakat) dipenggal saja, misal dengan meningkatankan kepintaran berganda- multiplied intelligent lewat otodidak. Untuk ini kini perlu bercermin kepada figur- figur atau tokoh besar, mereka itu bisa jadi tokoh intelektual dan tokoh ulama. Mereka itu bisa jadi Soekarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Corominoto, Buya Hama, dan lain- lain. Tulisan ini akan membahas tokoh yang bernama ”Buya Hamka” dengan judul tulisan adalah: Buya Hamka Sang Otodidak Sejati.

Tidak mengenal istilah pengangguran

Kata lain dari “pengangguran” adalah tunakarya. Tetapi kata pengangguran lebih lazim diucapkan oleh banyak orang. Terutama di kalangan orang- orang yang sedang mencari kerja atau merasa telah gagal dalam mencari kerja. Saat Buya Hamka kecil, orang-orang dan Buya Hamka sendiri belum mengenal kata atau istilah pengangguran, karena pada masa itu semua orang punya pekerjaan. Pekerjaan yang populer saat itu adalah seperti bertani, nelayan, beternak, bertukang, berdagang atau sebagai buruh dan satu dua orang ada yang menjadi guru di surau (Ulama) dan guru di seolah pemerintah (penjajah). Saat itu pekerjaan diwariskan dari orang tua turun temurun. Tidak seperti sekarang, pekerjaan dicari, dilamar, dan kemudian diterima atau ditolak.

Pada masa itu, dalam suasana masyaraskat tradisionil,seperti yang telah diungkapkan- generasi tua peduli terhadap kelangsungan kerja generasi muda. Seorang ayah akan melatih anak laki- laki yang sudah besar untuk mengikuti dan menekuni profesi sang ayah. Dan kelak bila sudah dewasa ia boleh bekerja berdikari- berdiri di atas kaki sendiri. Itu berarti bahwa aktivitas on the job training– atau magang- sudah berjalan dan malah telah mengangkar dan membudaya dalam keluarga. Begitu juga dengan kaum wanita, ibu- ibu juga melatih dan mempersiapkan masa depan anak wanita dengan memperi peran- peran sosial sebagai kaum wanita, calon ibu dan calon istri. Kegiatan menjahit, merenda, memasak, merawat adik- adik dan merawat rumah adalah bentuk kegiatan yang umum. Ini berarti nilai- nilai keterampilan dan sikap bertanggung jawab diajarkan dan diwariskan turun temurun. Orang sekarang memberi istilah bahwa telah terjadi pewarisan nilai psikomotorik dan afektif dari orang tua ke anak.

Hamka adalah akronim dari ”Haji Abdul Malik bin Abdul karim Amrulla”. Lahir tahun 1908 di Sungai Batang, Maninjau (Sumatra Barat) dan meninggal di Jakarta tahun 1981- beruntung karena juga mempunyai ayah yang juga tokoh masyarakat pada saat itu. Ayah beliau adalah Syekh Abdul karim Amrullah, nama lainnya adalah Haji Rasul. Ia dikenal sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam atau Tajdid di Minangkabau setelah ia kembali dari Makkah- kota pusat suci umat Islam dan pusat pendidikan Islam di dunia. Saat itu orang Islam di Minangkabau bersikap fanatik buta, percaya hanya terhadap apa yang dikatakan oleh pemuka masyarakat tanpa menganalisa benar atau salah (www.ujanailmu.com.my) Saat Buya Hama kecil nilai otak (nilai kecerdasan otak) sangat dijunjung tinggi oleh banyak orang. Namun tidak banyak orang tua yang tahu bagaimana agar anak mereka bisa menuntut ilmu setinggi mungkin, dan sikecil Hamka tentu merasa beruntung mempunyai ayah ”Haji Rasul” sebagai orang terpandang dan tokoh masyarakat pada saat itu.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ia tidak pernah memperoleh pendidikan formal seperti SLTP, SLTA apalagi pendidian di Perguruan Tinggi. Untuk memperoleh ilmu ia melakukannya secara otodidak. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka melalui kebiasaannya otodidiak- belajar mandiri- mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. (http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah).

Kegiatan otodidak Buya Hamka, membaca dan menulis berbagai bidang disiplin ilmu- filsafat, pendidikan, agama, kebudayaan, politik dan lain-lain- membuat Hamka mampu memahami permasalah dalam bidang kehidupan ini. Dalam hidupnya Hamka tanpa ia sadari telah menjalani banyak bidang kehidupan. Sebagai politikus, kegiatan politik Hamka berawal pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia.

Semasa dipenjarakan beliau mulai menulis Tafsir al Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Dalam hidupnya Buya Hamka sempat melalui multi karir atau multi kegiatan. Ia aktif dalam bidang keagamaan dan politik, dan selain itu Hamka juga sebagai seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Hamka juga dikenal sebagai Tokoh Budaya atau Budayawan karena beliau mampu menghasilkan banyak karya ilmiah dalam bidang agama Islam, dalam bidang kebudayaan dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Otodidak Buya Hamka dalam bidang menulis membuat beliau mampu melahirkan puluhan buku yang dibaca orang di seluruh pelosok Nusantara, malah juga di baca oleh bangsa–bangsa Melayu. Tokoh- tokoh pendidik di Universitas terkemuka memonitor dan menilai hasil- hasil karya tulisnya. Untuk itu Buya Hama menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antar bangsa seperti anugerah kehormatan dari negara Mesir, kerajaan Malaysia dan juga dari dalam negeri kita, Indonesia. Maka Universitas al-Azhar, 1958 menganugerahinya Doctor Honoris Causa. Doktor Honoris Causa juga diperoleh dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Datuk Indomo dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia (http://www.mail-archive.com/rantau-net@groups.or.id/msg01582.html).

Buya Hamka sebagai inspirator

Kini Buya Hamka sudah tiada, karena beliau sudah berpulang ke haribaan Allah. Beliau telah berpulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan bangsa, negara dan agama. Namun sekarang ada fenomena dalam kehidupan yaitu populasi generasi muda yang menempati posisi sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh-kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri. Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di tingkat dunia).

Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup. Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain-lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai setengah bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran-koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku. Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya.

Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata-rata remaja- sebagai calon intelektual saat itu- mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an. Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul-betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan, dan kehadiran mereka selalu ditunggu-tunggu setiap saat. Dan adalah juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar, dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.

Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segencar sekarang. Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya, selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua.

Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit. Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.

Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang, fifty-fifty, antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunyai duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat. Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah-rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna, walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai baby sitter untuk menemani anak selama berjam-jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.

Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur (sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan). Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebiasaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca. Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula. Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi, tiruan dan penuh kepalsuan, mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi.

Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang deman mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarskat. Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri- memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian musti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri. Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh intelektual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini kita, pelajar dan peserta lomba dalam rangka ”Hamka Sebagai Sang Inspirator” bermohon sangat kepada pihak pengelola media massa, baik media eletronik dan media cetak, para pendidik, educational stakeholder untuk membimbing kami memahami dan mengenal figur Buya Hamaka (dan juga tokoh tokoh bangsa yang lain) agar kami (kita) menjadi bangsa yang cerdas, beragama dan bermartabat.

lihat

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13822

No comments:

Post a Comment